Bayangan di Antara Nisan
Malam itu dingin menggigit. Angin berdesir pelan, menyapu dedaunan kering yang berjatuhan di jalan setapak. Seorang pria tengah melintasi pemakaman tua di pinggiran Desa Meraung—bukan karena ingin, tapi karena tak ada pilihan. Jalanan utama tertutup oleh pohon tumbang, dan hanya jalur kecil di sisi kuburan yang tersisa sebagai satu-satunya akses.
Langkahnya pelan. Ia mencoba tidak menatap langsung ke deretan nisan yang samar terlihat diterangi lampu jalan yang meredup. Lampu itu berkedip tak pasti, seolah ragu ingin tetap menyala atau padam selamanya. Di sela-sela suara angin dan dedaunan, ia mendengar bisikan. Lirih. Seperti suara seorang perempuan tua yang melantunkan doa—atau mungkin ratapan. Ia menoleh, tapi tak ada siapa pun. Hanya makam-makam bisu yang seolah menatap balik.
Ia mempercepat langkah. Tapi suara itu semakin jelas. Bukan hanya bisikan, melainkan juga langkah-langkah lembut, seperti seseorang berjalan di belakangnya… tanpa alas kaki.
Ia berhenti.
Sunyi.
Tak ada suara. Tak ada angin. Bahkan desiran pepohonan pun lenyap seketika, seakan dunia menahan napas. Ia menoleh pelan ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Tapi nisan yang tadi ia lewati… sekarang ada lebih dekat.
Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu dia tidak sedang berhalusinasi. Ia berbalik dan berjalan lebih cepat, hampir berlari. Tapi langkahnya seperti berat, seperti ada yang menahan ujung celananya dari belakang. Ia tak berani menunduk.
Dalam ketakutan, ia mulai membaca doa-doa yang ia ingat. Tapi suara-suara mulai berdengung di telinganya—gumaman dalam bahasa yang tidak ia mengerti. Matanya terasa panas, dan udara menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Embun es seperti menggantung di udara.
Lalu ia melihatnya.
Di antara dua nisan besar, berdiri sesosok bayangan. Tinggi, kurus, tanpa wajah. Sosok itu hanya berdiri diam, tapi seolah menatap langsung ke dalam jiwanya. Pria itu tertegun, tak mampu bergerak. Kakinya membeku. Sosok itu mengangkat satu tangan—dan menunjuk ke sumur tua di ujung area makam, di dekat mushalla kecil yang sudah lama kosong.
Ia tidak tahu mengapa, tapi tubuhnya mulai berjalan sendiri ke arah sumur itu. Langkahnya tak bisa dikendalikan, seperti ditarik oleh kekuatan yang tak kasat mata. Sumur itu diselimuti kabut, dan di bibirnya tumbuh tanaman liar yang tidak lazim—daunnya kehitaman, ujungnya tajam seperti duri.
Saat ia mendekat, suara dari dalam sumur memanggilnya. Bukan hanya satu suara, tapi banyak. Terdengar seperti tangisan… dan tawa anak-anak bersamaan. Suara itu naik dari kedalaman gelap sumur, memenuhi udara malam yang semakin pekat.
Ia berhenti. Nafasnya tersengal. Dan kemudian…
Semuanya gelap.
Ketika ia sadar, ia sudah berada di luar pemakaman. Tanpa luka, tanpa ingatan jelas tentang bagaimana ia keluar dari sana. Hanya satu hal yang tertinggal—bau tanah basah dan bisikan samar yang masih bergema di telinganya.
Sejak malam itu, ia tak pernah lagi lewat jalur itu. Dan bila ditanya, ia hanya menggeleng pelan. Tidak menjawab. Matanya kosong, dan ia seperti seseorang yang meninggalkan sebagian jiwanya di balik nisan-nisan sunyi Desa Meraung.
Dan sumur itu… masih ada di sana.
Menunggu seseorang yang cukup sial untuk dipanggil kembali.

Comments
Post a Comment