Nasi Goreng Terakhir Cak Dul - Arwah Gentayangan Cak Dul Sang Penjual Nasi Goreng
Desa Meraung sudah lama dikenal sebagai desa yang tenang, namun menyimpan banyak cerita ganjil yang hanya dibisikkan dari mulut ke mulut. Salah satunya tentang Cak Dul, penjual nasi goreng legendaris di ujung jalan dekat musholla tua.
Cak Dul bukan sembarang penjual nasi goreng. Orang-orang menyebut nasi gorengnya sebagai "penak luk lutuk" — enak luar biasa, apalagi kalau dipesan dengan level pedas maksimal. Hampir tiap malam, asap dari rombong biru tuanya membumbung tinggi di depan rumah kayunya. Orang-orang sering antre, duduk di bangku panjang, menunggu giliran sambil mengusap peluh karena aroma bawang putih dan cabai yang menggoda.
Namun malam itu berbeda.
Arip baru saja tiba di Desa Meraung. Ia pulang kampung dari perantauan, menumpang travel terakhir dan sampai di kampung halaman sekitar pukul satu dini hari. Jalanan sunyi. Langit gelap tanpa bintang, hanya suara jangkrik dan sesekali lolongan anjing terdengar dari kejauhan.
Saat melintasi rumah Cak Dul, Arip langsung menoleh dengan harapan besar. Perutnya keroncongan, belum makan sejak siang. Ia berharap bisa menyantap seporsi nasi goreng jumbo super pedas buatan Cak Dul.
Namun, apa daya.
Rombong Cak Dul terparkir rapi di sebelah rumah. Tidak ada asap, tidak ada cahaya lampu, dan tentu saja tidak ada aroma khas yang biasanya menyeruak ke jalan. Pintu rumah tertutup rapat, hanya suara dedaunan yang digoyang angin.
“Ah, mungkin libur,” gumam Arip kecewa. Ia menelan ludah, menatap rombong tua itu sebentar, lalu melanjutkan langkah menuju rumah orang tuanya yang sudah kosong sejak keduanya wafat tahun lalu.
Setelah beberes sebentar, Arip sadar kalau air di kamar mandi kering kerontang. Satu-satunya pilihan adalah ke toilet musholla yang terletak sekitar 30 meter dari rumah. Ia membawa senter dan berjalan menyusuri jalan sempit gelap menuju musholla kecil.
Angin malam dingin menyelinap masuk ke balik jaketnya. Namun Arip tetap melangkah, menahan kantuk dan kebelet.
Setelah buang air dan berwudhu, Arip sedang hendak keluar dari toilet musholla saat suara aneh terdengar dari kejauhan.
"Cis... crak... crak... cetak..."
Suara minyak mendesis, wajan digoyang, dan spatula menghantam besi—suara yang sangat familiar.
“Lho... itu... suara orang goreng nasi?” Arip mengerutkan kening.
Ia melangkah keluar, menengok ke arah sumber suara, dan...
Terlihatlah rombong nasi goreng Cak Dul, berdiri di tengah jalan samping musholla. Lampu temaram menggantung dari sudut rombong. Di balik asap yang menari-nari, ada sosok Cak Dul membelakangi Arip, sibuk menggoreng nasi dengan gerakan cepat dan lincah seperti biasanya.
“Cak Dul??” Arip tercengang.
Dengan langkah ringan penuh harap, ia mendekat sambil berkata,
“Lho, Cak Dul jualan toh? Kirain libur… Wah pas banget, saya laper berat ini. Pesan satu porsi jumbo, super pedas ya, Cak!”
Namun Cak Dul diam saja. Tak menoleh. Tak menjawab.
Asap kian tebal. Arip sedikit melangkah ke samping, mencoba mengintip wajahnya. Dan saat itu...
Wajah Cak Dul perlahan menoleh.
Bukan wajah biasa.
Kulitnya pucat keabu-abuan, matanya kosong tak berkedip, lidah menjulur kaku, dan wajahnya seperti meleleh setengah—persis seperti luka bakar parah.
Arip membeku sejenak.
Kemudian…
“AAAAAA!!”
Ia menjerit dan langsung lari terbirit-birit, hampir tersandung di jalanan berpasir. Ia tak berani menoleh ke belakang. Jantungnya berdentum keras di dada.
Sampai di rumah, ia mengunci pintu dan meringkuk di bawah selimut sambil menggigil. Butuh waktu lama sebelum akhirnya ia bisa tidur.
Keesokan paginya, Arip menceritakan kejadian itu pada tetangga. Mereka semua mematung.
Lalu seorang ibu berkata lirih,
“Arip… kamu belum dengar ya? Cak Dul sudah meninggal kemarin sore.”
Arip terdiam. Napasnya tercekat.
“Apa…?? Tapi… tapi semalam saya lihat dia jualan…”
Tetangga yang lain menimpali,
“Cak Dul sempat pingsan waktu masak di rombongnya. Kata orang, dia kena serangan jantung. Pas sadar sebentar, katanya dia masih sempat bilang: ‘Nanti malam aku tetap jualan... pesenan banyak.’”
Sejak saat itu, banyak warga mengaku mencium bau nasi goreng setiap lewat musholla di malam hari. Tapi tak ada yang berani menoleh. Konon, arwah Cak Dul masih bergentayangan, menyelesaikan pesanan nasi goreng yang belum sempat ia antar...
Dan rombong biru itu?
Masih ada.
Diam di samping rumah tua yang kini kosong.
Menunggu.
Mungkin kamu pembeli selanjutnya…

Comments
Post a Comment