Gerbang Meraung
Tak ada yang tahu pasti sejak kapan gerbang itu berdiri. Di atasnya terpahat tulisan besar: "Selamat Datang di Desa Meraung", dengan huruf-huruf yang tampak seperti dipahat oleh tangan gemetar. Gerbang itu terbuat dari susunan bata merah yang anehnya tidak pernah berlumut meski puluhan tahun dilintasi musim hujan. Malam hari, gerbang ini terlihat seperti sepasang rahang batu yang menganga, seolah menunggu sesuatu untuk ditelan.
Bagi warga sekitar, gerbang ini lebih dari sekadar simbol selamat datang—ia adalah penjaga. Penjaga antara dunia yang biasa dan yang tak biasa. Tak ada warga yang berani menyentuhnya, apalagi merenovasi. Bahkan rumput yang tumbuh liar di sekitar pondasinya tidak pernah disentuh oleh cangkul RT. Katanya, siapa pun yang coba membersihkan area gerbang akan mengalami mimpi buruk selama tujuh malam berturut-turut, dan yang ke-7... mereka tidak akan bangun lagi.
Suara di Malam Hari
Sejak kecil, Broto—anak dari penjaga pos kamling yang bertugas di dekat gerbang—sering mendengar raungan samar setiap malam Jumat Kliwon. Bukan suara hewan, bukan pula suara manusia. Suara itu seperti kesedihan yang ditarik dari dasar sumur, menggema lambat dan menyayat. "Itu cuma suara angin," kata bapaknya setiap kali Broto bertanya, walau ekspresinya berkata sebaliknya. Bapak Broto selalu memastikan ia tidak pernah tertidur di dalam pos saat malam keramat itu.
Namun rasa penasaran Broto tak pernah padam.
Di usianya yang ke-17, Broto memutuskan berjaga sendiri di pos kamling. Ia bawa kopi, rokok, dan senter. Malam itu, angin seperti menggigit lebih tajam. Pohon-pohon trembesi di sekitar gerbang bergoyang pelan, namun dedaunannya tak bersuara. Sunyi. Lalu, suara itu datang—pelan, seperti bisikan awal hujan: "Auuuuuuuuungggh..."
Bukan hanya dari satu arah. Suara itu datang dari bawah tanah, dari balik pohon, dari dalam dirinya sendiri. Broto menggenggam senter erat. Lampunya berkedip, lalu padam. Saat ia menyalakan ulang, ia melihat sesuatu di gerbang: seorang perempuan berbaju putih berdiri diam, wajahnya tak tampak, rambutnya panjang menutupi dada. Di tangannya, ia menggenggam sebilah keris kecil, meneteskan darah ke tanah.
Broto ingin berteriak, tapi suaranya terkunci. Perempuan itu perlahan mengangkat kepalanya. Mata hitam pekat itu menatap lurus ke arah Broto . Tak ada kelopak, tak ada cahaya. Hanya kehampaan yang menjerat. Sesaat kemudian, ia lenyap. Namun, bau bunga melati terbakar tertinggal di udara.
Rahasia Tua Desa Meraung
Keesokan paginya, warga menemukan Broto duduk membatu di dalam pos kamling. Matanya terbuka lebar, namun ia tidak bergerak. Bapaknya menangis, berulang kali memanggil nama anaknya, tapi Broto hanya berbisik, "Dia penjaga... dia mencari... yang mengingkari..."
Seorang sesepuh tua bernama Mbah Gandung akhirnya bicara. "Dulu, jauh sebelum kita lahir, Desa Meraung adalah tempat pesugihan. Banyak orang luar datang ke desa untuk ritual di bawah gerbang itu—ya, tempat yang sekarang jadi gapura. Gerbang itu bukan dibangun untuk menyambut orang, tapi untuk menutup jalan bagi yang seharusnya tak kembali. Perempuan yang Broto lihat, dia adalah korban pertama. Namanya Dewi Sumirah."
Mbah Gandung menjelaskan bahwa Sumirah adalah seorang gadis yang dikorbankan oleh warga sendiri saat terjadi paceklik panjang. Ia dikubur hidup-hidup di bawah pondasi gerbang, disertai jampi-jampi dari dukun tua. Sejak saat itu, kemakmuran kembali, namun dengan harga: satu nyawa muda setiap dua puluh tahun.
"Tahun ini... tepat dua puluh tahun sejak korban terakhir," kata Mbah Gandung dengan sorot mata nanar. "Dan Broto ... mungkin dipilih karena dia terlalu dekat dengan batas."
Gerbang yang Tidak Pernah Tertutup
Sejak kejadian itu, pos kamling selalu kosong tiap malam Jumat Kliwon. Tak ada lagi warga yang berani berjaga. Gerbang Desa Meraung tetap berdiri, tak berubah, tak hancur oleh usia.
Namun setiap dua puluh tahun sekali, suara raungan itu kembali.
Beberapa percaya itu hanyalah mitos. Tapi warga asli tahu, di balik tumpukan bata dan papan kayu bertuliskan "Selamat Datang," ada sesuatu yang menunggu. Bukan hanya menunggu... tapi mengingat.
Dan jika kamu lewat di malam sepi, dan mencium bau melati terbakar... jangan menoleh ke belakang.
Karena bukan semua yang disambut oleh gerbang itu boleh kembali keluar.

Comments
Post a Comment