Jaga Malam di Desa Meraung

Pak Agung dan Om Adi sudah seperti ikon pos kamling Desa Meraung. Setiap malam, saat warga sudah tertidur lelap, dua pria ini duduk bersila di pos yang terbuat dari kayu jati tua, beratapkan seng bergelombang. Meja catur sederhana dan gelas kopi jadi saksi bisu obrolan mereka yang kadang ngawur, kadang serius, tapi selalu menghibur.

Pak Agung si Pendiam Berani

Pak Agung adalah pria pendiam, berkulit gelap terbakar matahari dan bertubuh kurus tapi berotot. Ia jarang bicara, tapi jika sudah tertawa, suaranya seperti suara motor tua yang menderu. Ia suka berjaga malam karena menurutnya malam itu jujur. “Kalau ada yang aneh, lebih gampang kerasa di malam hari,” katanya suatu kali. Dulu ia pernah jadi hansip, dan sejak pensiun, jaga malam sudah seperti ritual baginya.

Tak banyak yang tahu, Pak Agung punya kepekaan terhadap hal-hal gaib. Sejak muda, ia sering melihat bayangan yang tak bisa dijelaskan. Tapi ia tidak lari, justru semakin ingin tahu.

Om Adi si Pecinta Catur Suara Cempreng

Om Adi—berambut tipis dan selalu pakai kaos lengan panjang walau malam panas—adalah kebalikan Pak Agung. Ia cerewet, suka nyanyi-nyanyi nggak jelas, dan yang paling khas: suaranya cempreng seperti peluit bocor. Tapi justru itulah yang membuat warga suka padanya. Ia kerap jadi MC dadakan kalau ada acara 17-an, meski sering dikatai, “Suaranya kayak ketel bocor, Di!”

Namun di balik suaranya yang aneh, Om Adi sangat baik. Ia sering bawa teh manis dan gorengan ke pos, dan selalu menyapa siapa pun dengan senyuman tulus.

Dan tentu saja, ia maniak catur. Lawan utamanya tiap malam? Pak Agung.




Malam Petaka di Malam Jumat Kliwon

Suatu malam Jumat Kliwon, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut turun lebih awal, menyelimuti jalanan desa dan mengaburkan pandangan. Di tengah obrolan dan permainan catur mereka, Pak Agung merasa angin malam seperti membawa bisikan.

“Ada yang beda, Di,” katanya pelan.

Om Adi meneguk teh manisnya. “Paling kamu lapar. Nih, gorengan...”

Pak Agung tidak membalas. Matanya tertuju ke arah jalan tanah menuju mushalla lama, di sampingnya berdiri sumur tua dan makam keluarga Mbah Warto, yang katanya dulu pernah jadi dukun kampung.

“Eh, kita lihat yuk ke arah sumur... siapa tahu ada maling kambing lagi kayak dulu.”

Om Adi awalnya ogah, tapi akhirnya ikut. Mereka membawa senter dan tongkat kayu, lalu berjalan pelan melewati pepohonan. Sampai di dekat mushalla, udara mendadak hening. Bahkan jangkrik pun tak bersuara.


Sumur dan Suara dari Bawah Tanah

Di dekat sumur tua itu, Om Adi merasa mual.

“Aku kayak mau muntah, Gung... bau anyir banget.”

Pak Agung mendekati sumur. Tali timbanya sudah putus lama, namun saat ia melongok ke dalam, terdengar suara seperti suara gigi saling beradu, pelan... mengiris.

Tiba-tiba... suara cempreng Om Adi bergetar.

“Gung... itu... siapa yang duduk di atas nisan?”

Pak Agung menoleh. Di atas salah satu nisan, duduk seorang anak kecil dengan kepala tertunduk, rambut menutupi wajah, dan tangan memegang boneka kain compang-camping.

“Dek?” panggil Om Adi, refleks, seperti kebiasaan menyapa warga kecil.

Anak itu pelan-pelan mengangkat kepalanya.

Wajahnya tidak ada. Hanya kulit licin pucat tanpa mata, tanpa hidung, hanya sebuah senyum merah besar seperti disayat.

Pak Agung segera menarik tangan Om Adi. “Jangan lihat dia terus!” serunya.

Namun Om Adi tak bergerak. Matanya kosong.

Suara anak itu masuk ke telinga mereka, bukan dari mulut tapi langsung ke dalam pikiran:

“Main... catur... sama aku...”

Papan catur kecil muncul di atas nisan. Bentuknya dari batu, bidaknya bergerak sendiri.

Pak Agung mengucap doa pelan, memeluk Om Adi, dan menyeretnya mundur.

Tiba-tiba seluruh kuburan menjadi gelap. Pohon-pohon bergoyang kencang meski tak ada angin. Suara anak itu kini bergema dari dalam sumur, dari bawah tanah, dari segala arah.

“Giliran kamu... Giliran kamu... Giliran kamu...”


Kembali ke Pos

Mereka berlari hingga tiba kembali di pos. Nafas keduanya tersengal. Om Adi langsung duduk memeluk lutut, tubuhnya gemetar. Pak Agung, meski lebih tenang, mukanya pucat pasi.

Malam itu mereka tak bicara banyak. Catur dibungkus, kopi tak disentuh.

Baru keesokan paginya Om Adi bersuara:

“Gung... kamu ingat kan... tadi... dia mau main catur.”

Pak Agung mengangguk.

Om Adi tertawa gugup. “Tapi... kayaknya aku kalah.”

Pak Agung menoleh dengan tatapan heran.

“Kenapa?” tanyanya.

Om Adi menunjuk ke bidak catur di meja pos kamling. Di sana, tanpa ada yang menyentuh, bidak-bidak catur mereka sudah tersusun persis seperti yang ada di atas nisan tadi malam.


Epilog

Sejak malam itu, mereka berdua tak pernah berjaga saat Jumat Kliwon. Bahkan Om Adi kini membawa papan catur kecil dari plastik ke mana pun ia pergi, seolah ingin memastikan permainan itu tak berpindah ke tempat lain.

Warga Desa Meraung hanya bisa menebak. Tapi mereka tahu satu hal: jangan dekati sumur tua dan makam di malam Jumat Kliwon, apalagi kalau kamu suka catur. Karena... siapa tahu ada seseorang yang masih ingin bermain.

Dan sekali kamu kalah... kamu tak bisa mundur giliran.


Comments