Malam Gelisah di Kamar Paman (Cerita lanjutan dari "Sang Paman Wafat Sebelum Arip Tiba")

Arip memandangi ranjang itu dalam diam. Sepi. Hanya dengung kipas angin tua dari sudut langit-langit yang terdengar samar. Kasur itu... masih terawat. Sepreinya bermotif bunga-bunga pudar, warna pastel yang sudah tak cerah lagi, tapi tetap rapi seperti biasa. Bahkan bantal di ujung ranjang itu masih tertata seolah seseorang baru saja menepuknya.

Kamar paman. Kamar yang dulunya sangat terlarang baginya ketika kecil. Hanya paman yang tidur di situ. Bahkan waktu kecil kalau mengintip dari celah pintu, ia hanya melihat samar-samar: jendela kayu dengan tirai renda, kasur polos, lemari kayu tua, dan bau minyak kayu putih yang khas.

Tapi sekarang, kamar itu jadi satu-satunya tempat ia bisa tidur. Semua kamar lain terlalu penuh debu dan kenangan. Dengan berat hati, Arip masuk, mematikan lampu ruang tengah, dan menutup pintu kamar.



Malam mulai larut. Arip mencoba memejamkan mata, namun ada yang mengganjal. Meskipun tubuhnya lelah, pikirannya tak bisa tenang. Ia merasa… tidak sendirian.

Kasur itu dingin, lebih dingin dari yang seharusnya. Bahkan saat ia menarik selimut, kulitnya terasa menggigil. Ia membalikkan badan, berusaha mencari posisi yang nyaman. Namun, bau samar mulai tercium. Seperti… bunga melati yang disiram minyak tanah. Aneh. Tidak ada bunga di kamar itu.

Arip membuka mata, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak ada yang berubah. Jendela tertutup, tirai tidak bergerak. Tapi ketika ia menatap plafon, samar-samar ia merasa ada bayangan gelap menggantung—seperti kabut hitam tipis—di atasnya. Ia mengedipkan mata cepat-cepat. Tidak ada apa-apa. Mungkin hanya bayangan lampu dari luar.

Namun saat ia membalikkan badan lagi dan menghadap ke arah dinding, bantal di sampingnya terasa sedikit berat.

Arip menelan ludah. Perlahan, sangat perlahan, ia mengangkat kepala dan melihat ke arah bantal itu. Masih di sana, dalam posisi yang sama. Tapi... terasa seperti ada seseorang yang pernah baring di sana belum lama ini.

Ia mencoba memejamkan mata lagi, berpikir keras bahwa semua ini hanya sugesti. Tapi kemudian, dari arah bawah kasur, terdengar bunyi gesekan kayu. Seperti ada yang menggaruk bagian bawah ranjang.

“...krrkk... krrkkk...”

Arip menahan napas. Matanya terbuka lebar. Ia tidak berani bergerak. Suara itu berhenti. Lalu... terdengar nafas. Bukan nafasnya. Tapi nafas berat, parau… di dekat telinganya.

“Arip…”

Suaranya rendah, hampir seperti bisikan dari balik dada.

“...kenapa kamu baru datang sekarang…”

Arip melompat dari ranjang, membanting pintu kamar, dan langsung menyalakan semua lampu di ruang tengah. Ia terduduk di lantai, tubuh gemetar, tangan dingin. Ia tidak berani kembali ke kamar itu malam ini.

Akhirnya, ia duduk di kursi tua ruang tamu sambil menunggu pagi. Matanya tidak bisa terpejam walau sejenak. Setiap kali ia mencoba memejamkan mata, suara dari kamar itu seperti memanggil lagi... memanggil dengan nada sedih, kecewa, dan menunggu.

Dan sejak malam itu, Arip tidak pernah lagi tidur di kamar paman. Ia bahkan tidak berani menutup pintu kamar tersebut—takut jika suatu malam, pintu itu terbuka sendiri dan mengundangnya masuk... sekali lagi.

Comments