Pak Wiryo? Pak Wiryo mau ngapain Pak?
Kabut pagi menelan seluruh pandangan, menyisakan hanya siluet batu nisan yang tegak tak bergerak. Pak Wiryo berdiri di pintu gerbang makam, tubuhnya yang tambun membentuk bayangan besar di antara kabut kelabu. Kaos kuningnya kontras dengan tanah kering yang memerah di bawah kakinya, sementara napasnya keluar dalam uap tipis.
Tanpa tergesa, ia melangkah masuk. Sandal jepitnya menyeret tanah, menimbulkan suara gesekan yang anehnya terdengar terlalu jelas, seolah mengiris keheningan. Tidak ada yang tahu mengapa ia datang pagi-pagi begini, sendirian, tanpa membawa bunga, dupa, atau tanda-tanda ziarah lainnya. Ia berjalan melewati makam-makam lama, sebagian condong miring, sebagian lagi nyaris tenggelam dalam tanah.
Langkahnya berhenti di sebuah makam dengan batu nisan tanpa tulisan. Ia menatapnya lama, seakan sedang membaca sesuatu yang tak terlihat. Lalu, perlahan, ia menggeser tubuhnya ke arah sudut makam, membungkuk sedikit, dan menyentuh tanah dengan ujung jarinya. Entah apa yang ia rasakan, tapi dari sorot matanya yang kosong, jelas itu bukan sekadar tanah biasa.
Pak Wiryo lalu menegakkan badan, memandang lebih jauh ke dalam area makam yang diselimuti kabut pekat. Tanpa menoleh, ia melanjutkan langkahnya, semakin dalam, semakin jauh, hingga kabut menelan seluruh sosoknya. Hanya suara sandal jepitnya yang samar terdengar, lalu menghilang sama sekali.
Tidak ada yang tahu apa yang ia cari. Dan mungkin, tidak ada yang akan pernah tahu.

Comments
Post a Comment