Ziarah Arip di Siang Hari
Langit Desa Meraung pagi itu redup, meski mentari telah tinggi. Langit kelabu seakan menggantung pertanda duka yang belum usai. Arip berdiri di depan rumah panggung tua yang kini kosong, hanya tinggal bayang kenangan di balik dinding kayu lapuk itu. Ia terlambat. Terlalu lama tenggelam dalam hiruk pikuk kota, terlalu lama menunda pulang, hingga akhirnya tak sempat menatap wajah pamannya untuk terakhir kali.
Paman itu yang dulu menggendongnya saat kecil, mengajarinya mengaji, dan menanamkan nilai-nilai hidup sederhana. Kini sudah terkubur di tanah basah, sendirian. Arip menunduk dalam diam, merasakan dada sesak oleh penyesalan yang menghantam tak henti.
Siang itu, dengan langkah berat, Arip berjalan menuju kompleks kuburan desa di sisi utara—tempat pamannya dimakamkan tiga hari lalu. Jalan setapak dari batuan kasar membelah semak dan ilalang, dan perlahan, gerbang bambu tua menyambutnya. Udara mendadak dingin, anehnya menusuk hingga ke tulang.
Padahal matahari masih tergantung. Tapi kuburan itu seakan tidak mengenal siang.
Barisan nisan berdiri bisu, sebagian miring, sebagian tertutup semak. Suasana begitu sunyi, hanya ada bunyi desir angin dan sesekali daun kering jatuh dari pohon beringin besar di tengah pemakaman. Arip menarik napas, matanya menatap sekeliling. Terlalu banyak gundukan tanah baru. Terlalu banyak bunga tabur yang belum kering. Ia menghitung dalam hati... satu, dua, tiga... enam nisan baru. Seminggu? Begitu banyak?
Warga bilang ini hanya penyakit musiman. Tapi ada desas-desus—bahwa semenjak sang paman wafat, tiap malam selalu ada satu rumah yang dirundung isak tangis. Kematian datang seperti arus tak terbendung. Anak kecil, orang tua, perempuan hamil—semuanya digilas sama rata.
Langkah Arip terhenti di depan makam pamannya. Tanahnya masih merah basah. Batu nisannya sederhana, hanya bertuliskan nama dan tanggal wafat. Arip duduk bersila, meletakkan bunga, lalu mulai membaca Al-Fatihah. Tapi suasana... terasa aneh. Tidak seperti ziarah biasanya. Angin yang bertiup terlalu dingin untuk siang hari. Bau tanah bercampur wangi kemenyan samar-samar menguar, padahal tak ada orang lain.
Tiba-tiba... ia mendengar sesuatu. Seperti bisikan. Pelan. Di antara desiran angin dan daun yang bergoyang, seperti ada yang menyebut namanya—"Arip..."
Ia menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Tapi bulu kuduknya berdiri.
Pandangan matanya terarah ke arah sudut kuburan. Ada satu liang terbuka. Seperti sudah disiapkan. Tapi belum diisi.
Jantung Arip berdegup cepat.
Tiba-tiba suara ayam jantan berkokok keras—padahal itu masih siang.
Ia bangkit, menatap sekitar. Kuburan itu sepi, tapi hawa sunyinya tidak biasa. Bukan sunyi karena tak ada suara, tapi sunyi yang menekan. Sunyi yang membuat dada berat, langkah sulit diangkat. Seakan ada yang menatapnya dari balik pepohonan. Seakan dia tidak sendiri di tempat itu.
Arip melangkah mundur. Ia membaca doa-doa lagi, lebih kencang. Lidahnya gemetar. Saat ia hendak pergi, samar-samar... terdengar suara napas. Berat. Dekat.
Tapi saat ia menoleh, tak ada siapa pun. Hanya nisan-nisan tua yang diam menyaksikan.
Arip berlari kecil menjauh dari pemakaman. Di ujung jalan, ia menoleh sekali lagi. Kabut tipis menggantung di antara nisan. Dan liang kubur yang terbuka itu... masih menganga, seakan menanti seseorang.
Arip pulang dengan tubuh menggigil. Dan malam itu, kabar kematian satu lagi warga kembali terdengar dari pengeras suara masjid.
Desa Meraung masih belum lepas dari bayang duka. Dan Arip hanya bisa berdoa, semoga arwah pamannya tenang—dan semoga maut tak terus memanggil dari antara liang yang menanti.

Comments
Post a Comment