Desa Meraung: Bayangan yang Tak Pernah Aku Tahu

Aku belum pernah ke Desa Meraung. Bahkan letaknya pun samar di benakku—entah di balik bukit mana, di ujung jalan mana, atau di peta mana. Tapi namanya sering muncul, seperti gema yang tak diundang, dari obrolan warung kopi, bisik-bisik tetangga, atau cerita yang dilemparkan begitu saja oleh orang-orang yang juga, kurasa, belum pernah ke sana.



Katanya desa itu seram. Katanya banyak hantu. Katanya kalau malam, suara-suara aneh terdengar dari balik pohon, dari rumah-rumah tua yang berdiri miring, dari ladang yang tak lagi ditanami. Tapi semua itu... katanya. Dan aku tak tahu siapa yang pertama kali bilang. Mungkin hanya satu orang yang bermimpi buruk, lalu mimpi itu menyebar seperti kabut.

Kadang aku membayangkan desa itu. Sebuah rumah kayu kecil di tengah ladang, beratap miring dan jendela yang mengintip ke dunia. Ada tiang listrik berdiri diam, seperti penjaga yang tak bicara. Rumput tumbuh liar, dan kabut pagi menyelimuti semuanya dengan lembut. Tidak ada yang bergerak, tapi juga tidak ada yang mengancam. Hanya sunyi yang terlalu sunyi, hingga pikiran mulai bermain sendiri.

Aku tidak tahu apakah benar ada sesuatu di sana. Mungkin tidak ada apa-apa. Mungkin hanya desa biasa yang kebetulan punya nama yang terlalu dramatis. “Meraung”—seolah-olah desa itu sedang menjerit. Tapi bisa jadi itu hanya nama, tanpa makna, tanpa kutukan, tanpa cerita horor.

Yang kutahu, ketakutanku tentang desa itu bukan berasal dari desa itu sendiri. Tapi dari pikiranku. Dari imajinasi yang terlalu liar, dari cerita yang terlalu kabur, dari rasa penasaran yang bercampur dengan rasa was-was. Dan aku sadar, semua itu belum tentu nyata.

Mungkin suatu hari aku akan ke sana. Mungkin aku akan menemukan bahwa Desa Meraung hanyalah desa biasa, dengan orang-orang biasa, dan kehidupan yang berjalan seperti biasa. Atau mungkin aku tidak akan pernah ke sana, dan desa itu akan tetap menjadi bayangan di kepalaku—tempat yang tak pernah kutahu, tapi selalu bisa kubayangkan.

Comments