Misteri yang membuat warga Desa Meraung panik

Malam itu desa terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin hanya sesekali menyentuh dedaunan, dan suara jangkrik pun terdengar ragu-ragu. Di salah satu sudut pemukiman, di depan sebuah rumah berdinding bata dan atap seng, seorang warga terbaring lemas di atas dipan bambu. Nafasnya berat, tubuhnya gemetar, kulitnya pucat seperti kapur. Di sekelilingnya, beberapa warga berdiri kaku — satu memegangi kepala, bingung dan ketakutan; yang lain hanya memandang kosong, tak tahu harus berbuat apa.



Tak ada yang tahu pasti apa yang sedang terjadi. Beberapa hari terakhir, orang-orang mulai jatuh sakit satu per satu. Bukan hanya demam biasa, tapi disertai rasa sesak, tubuh menggigil hebat, dan pandangan yang perlahan memudar seolah nyawa sedang dijemput diam-diam. Dan malam ini, seorang lagi tumbang.

Desa itu bukan desa besar. Setiap wajah saling mengenal, setiap suara dikenal dari jauh. Maka ketika satu orang rebah tak berdaya, yang lain pun segera datang — bukan untuk memberikan pertolongan, tapi lebih karena panik dan takut ditinggal sendirian. Namun semakin banyak yang berkumpul, semakin besar rasa tak berdaya itu. Tak ada yang punya jawaban. Tak ada yang tahu harus menolong dengan cara apa. Mereka hanya berdiri, memandangi tubuh yang semakin lemah, seolah mengharap keajaiban turun dari langit malam.

Isu tentang wabah mulai menyebar lebih cepat dari penyakitnya sendiri. Ada yang bilang kutukan. Ada yang berbisik bahwa ini balasan atas dosa yang tak pernah disadari. Tapi sebagian hanya diam, terpekur, karena ketakutan membuat mulut mereka terkunci.

Desa yang biasanya penuh suara canda malam, kini hanya dihiasi isakan tertahan dan gemetar doa yang lirih. Tak ada yang berani menyentuh yang sakit. Bahkan tak satu pun berani masuk ke dalam rumahnya. Mereka hanya berdiri di luar, seolah batas antara hidup dan mati kini hanyalah garis samar yang tak terlihat namun sangat terasa.

Ketakutan menggantung di udara seperti kabut yang pekat. Semua orang tahu: ini belum selesai. Dan mungkin besok, atau lusa, salah satu dari mereka akan terbaring di dipan bambu yang sama — dikelilingi wajah-wajah yang sama kalut dan tak mampu berbuat apa-apa.

Comments