Pernah terbangun di tengah malam karena berasa perut lapar lalu kamu ke dapur dan...
Malam itu, suasana rumah begitu sunyi. Hanya deru kipas angin tua di kamar dan bunyi jam dinding yang terdengar berdetak lambat seperti bernapas. Perut mendadak melilit, rasa lapar menyerang di tengah malam yang tak bersahabat.
Dengan malas, kaki melangkah ke dapur. Lampu redup dari plafon menyala remang, cukup untuk melihat bentuk benda, tapi tidak cukup untuk merasa tenang. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan dinding dapur seperti menyerap kehangatan tubuh.
Air mulai direbus, kompor gas menyalakan nyala api biru yang berdesis. Sambil menunggu, tubuh bersandar di meja, mencoba menepis rasa kantuk.
Lalu, terdengar bunyi halus. Ceklek.
Kran wastafel bergerak sedikit, seolah ada yang menyentuhnya. Tapi tidak menetes. Diam. Hening.
Pandangan menoleh ke arah wastafel. Tidak ada apa-apa—hanya piring kotor yang belum sempat dicuci. Tapi ada rasa… seolah sedang diperhatikan. Dari sudut ruangan. Dari jendela buram yang menghadap halaman belakang.
Mata terfokus pada jendela. Di balik kaca, samar terlihat seperti bayangan. Sejenak terpaku. Jantung berdetak lebih cepat. Tapi tidak bergerak, tidak berubah. Hanya pantulan? Atau… bukan?
Tiba-tiba, panci mendesis lebih keras. Air mendidih.
Saat tangan hendak meraih mie dari rak, terdengar bisikan.
Sangat dekat.
Sangat pelan.
"...jangan..."
Bergidik. Suara itu bukan suara rumah. Bukan suara malam. Itu suara yang seharusnya tidak ada.
Langkah mundur pelan-pelan. Tapi kaki terasa berat, seperti menapak di lumpur. Pintu kamar mandi di samping dapur terbuka perlahan, berderit, padahal tadi tertutup rapat.
Ada bau aneh, seperti tanah basah… dan dupa. Dupa yang dulu sering dipakai saat pemakaman.
Panci air mendidih masih di atas kompor. Tapi sekarang, tutupnya sudah sedikit terangkat. Seolah ada sesuatu di dalamnya yang ingin keluar.
Pikiran mulai kacau. Ruang dapur yang kecil itu terasa seperti menutup rapat, mencekik. Udara semakin dingin, hingga napas berubah menjadi kabut.
Langkah cepat-cepat menuju pintu kamar, tapi sebelum meninggalkan dapur, sempat menoleh sekali lagi.
Wastafel penuh piring kotor tadi kini bersih. Rapi. Tidak mungkin. Tidak ada yang membersihkannya.
Kecuali...
Di ujung mata, sesosok samar berdiri menghadap jendela, punggungnya membungkuk… dan perlahan-lahan menoleh. Tapi tidak sempat melihat wajahnya—karena pintu sudah ditutup keras dari dalam kamar, dan tubuh menggigil hebat di balik selimut.
Malam itu… mie tidak jadi dimasak. Dan dapur tidak akan pernah disambangi sendirian lagi. Terutama… saat tengah malam.

Comments
Post a Comment