Sang Paman Wafat Sebelum Arip Tiba (Cerita mistis dari Desa Meraung)
Langit mendung menggantung berat di atas kota tempat Arip tinggal dan bekerja. Ia baru saja selesai menutup laptop ketika sebuah telepon masuk. Dari ujung telepon, suara parau tetangganya di kampung menyampaikan kabar yang membuat jantung Arip serasa terhenti sesaat: Paman sakit keras. Mungkin tak lama lagi. Kalau kau bisa pulang, pulanglah sekarang.
Arip membeku. Paman… Satu-satunya orang yang ia anggap sebagai ayah. Sejak kecil, setelah ditinggal orang tua karena kecelakaan, pamannyalah yang mengasuhnya, menyekolahkannya, mengajarinya memasak, memperbaiki sepeda, dan membacakan kisah-kisah lama sebelum tidur. Namun, beberapa tahun terakhir, Arip terlalu sibuk. Pekerjaannya menuntut banyak waktu. Ia kerap menunda niat pulang kampung dengan dalih "nanti saat liburan panjang" atau "mungkin bulan depan".
Namun kali ini berbeda. Kabar itu terasa seperti tamparan keras. Dengan tergesa, ia menyiapkan tas ransel seadanya dan langsung memesan tiket pulang ke Desa Meraung, desa kecil terpencil yang jauh dari bising kota, namun penuh kenangan masa kecilnya.
Arip tiba di terminal kecil Desa Meraung tengah malam. Udara terasa lembab, dingin, dan sunyi. Tidak ada angkutan. Ia memutuskan berjalan kaki ke rumah paman yang terletak tak jauh dari jalan utama. Tapi saat ia mendekati rumah itu, ada yang janggal. Lampu rumah padam. Gerbang kayu terbuka sedikit, dan di teras tidak ada lampu minyak menyala seperti biasanya.
Rombong paman yang biasa diparkir di depan rumah—rombong nasi goreng peninggalan masa muda paman—masih ada di sana. Tapi kesan hidup yang biasa menyertai rumah itu… hilang.
Arip mengetuk pintu pelan. Tidak ada jawaban. Ia dorong perlahan. Terkunci. Ia pun mengitari rumah dan menemukan pintu belakang tidak terkunci. Suasana di dalam rumah gelap dan sunyi, hanya suara jangkrik dari luar yang terdengar jelas.
Di meja ruang tengah, ada foto lama dirinya bersama paman, dan di sampingnya—kain putih panjang tergulung rapi. Hatinya mencelos. Ia segera menelepon tetangga yang dulu menyampaikan kabar. Setelah beberapa saat, telepon tersambung.
“Sudah dimakamkan sore tadi, Rip. Kami semua sudah pulang. Kamu datang telat. Maafkan kami tak menunggumu.”
Arip terduduk lemas di lantai ruang tamu. Ia menutup mata, menahan tangis, meremas-remas rambutnya sendiri. Ia telah terlambat. Sang paman yang membesarkannya, wafat sebelum ia sempat mengucap terima kasih terakhir kali.
Keesokan harinya, Arip pergi ke makam pamannya. Letaknya di pojok desa, tak jauh dari pohon-pohon beringin tua. Ia duduk bersimpuh di depan pusara, membacakan doa sambil menahan isak. Tak ada orang lain. Hanya angin berdesir pelan dan daun-daun berguguran.
Setelah itu, Arip memutuskan tetap tinggal di rumah paman untuk beberapa hari. Ia ingin mengenang kembali masa kecilnya. Ia tidur di kamar lamanya, membuka lemari tua, membaca buku-buku lama, bahkan sempat menyalakan kembali tungku dapur yang biasa digunakan pamannya untuk memasak.
Namun sejak malam pertama, sesuatu terasa aneh.
Sekitar pukul dua dini hari, Arip terbangun karena mendengar suara sendok jatuh dari dapur. Ia turun pelan-pelan, berpikir mungkin tikus. Tapi tidak ada apa-apa di sana. Semua peralatan masih tergantung rapi di rak. Namun... pintu belakang mengayun perlahan, seolah baru saja ditutup seseorang. Ia menutupnya dan menguncinya.
Malam kedua, kejadian serupa berulang. Kali ini lebih nyata. Arip mendengar suara batuk—batuk khas paman—dari ruang tamu. Ia langsung keluar kamar, namun ruangan kosong. Dan di meja ruang tamu, gelas teh yang ia yakin sudah kosong kini tampak berisi setengah penuh, dan masih hangat saat disentuh.
Arip mulai gelisah. Ia mencoba tetap berpikir logis. Tapi pada dini hari ketiga, ia merasa tidak sanggup lagi tinggal di rumah itu sendirian. Ia merasa terus diawasi. Sering kali seperti mendengar suara langkah pelan dari arah dapur, atau pintu kamar paman terbuka sedikit demi sedikit tanpa sebab.
Yang paling membuatnya merinding, adalah saat ia mendengar suara pelan seperti seseorang memanggil namanya dari arah kamar paman:
"Rip... Arip..."
Pagi harinya, Arip langsung menghubungi satu-satunya teman yang bisa ia percaya: Agung, sahabat lamanya di kota.
“Gung, jemput aku. Sekarang. Aku gak tahan di sini. Aku serius. Ini rumah bukan rumah biasa…”
Tanpa banyak tanya, Agung segera berangkat menjemput. Butuh waktu setengah hari hingga akhirnya mobil Agung muncul di depan rumah paman. Saat Agung datang, Arip tampak seperti orang kelelahan. Matanya sayu, kulitnya pucat.
Setelah masuk ke mobil dan meninggalkan desa itu, Arip hanya menoleh sekali ke belakang. Ia melihat rumah paman dari kaca belakang mobil, dan—entah hanya imajinasinya atau bukan—di ambang jendela kamar paman, seperti ada sosok samar berdiri diam, menatap kepergiannya.
Sampai bertahun-tahun kemudian, Arip tak pernah kembali lagi ke rumah itu. Rumah sang paman tetap berdiri di ujung Desa Meraung, namun kosong. Tak seorang pun mau menempatinya. Sebab warga desa bilang, setiap malam, dari arah rumah itu, masih terdengar suara panci bergesekan, sendok dijatuhkan, dan suara batuk seseorang yang telah lama meninggal.

Comments
Post a Comment