Warung Kematian!

Saat lewat siang hari, warung ini tampak biasa saja. Tapi kalau malam, seperti ada bau busuk. Ketika didekati, warung ini berisi potongan-potongan daging menjijikkan dan busuk! Hiiii seramnya!


Malam menyelimuti jalanan sepi saat Arip dan Agung melaju dalam mobil tua mereka, debu beterbangan di bawah sinar lampu depan yang redup. Di ujung jalan desa, sebuah warung kecil muncul dari kabut, atapnya reyot dan lampu minyak di beranda berkedip pelan. Seorang nenek tua duduk di depan, wajahnya keriput, matanya menatap kosong ke arah mereka, seolah tahu mereka akan datang.

Arip memarkir mobil, dan mereka melangkah masuk, diiringi derit pintu kayu. Bau tanah basah dan sesuatu yang tak bisa mereka kenali menyelinap di udara. Nenek itu tak bergerak, hanya tersenyum tipis, bibirnya nyaris tak terlihat di bawah bayang topi bambu. Arip dan Agung memesan kopi, duduk di bangku kayu yang goyah, dan berbincang sambil tertawa, mengabaikan hawa dingin yang perlahan merayap di punggung mereka.

Tiba-tiba, dunia Arip gelap. Kepalanya terasa berat, dan suara Agung memudar seperti ditelan angin. Saat matanya terbuka, ia terduduk di lantai warung, jantungnya berdegup kencang. Meja-meja kosong, cangkir kopi mereka menghilang, dan debu tebal menyelimuti segalanya, seolah warung itu tak pernah disentuh selama bertahun-tahun. Agung lenyap. Nenek tua itu juga tak ada, hanya kursi kosong yang masih bergoyang pelan di beranda.

Arip tersandung keluar, napasnya memburu. Di kejauhan, lampu mobil mereka masih menyala, tapi mesinnya mati. Ia berbalik, menatap warung yang kini tampak lebih tua, lebih kelam, seolah menelan cahaya di sekitarnya. Sesuatu berbisik di telinganya—nama Agung, atau mungkin hanya angin. Ia tak yakin. Yang ia tahu, ia tak ingin kembali.

Comments